NPWP ONLINE

NPWP ONLINE

Panduan dan Informasi Seputar Pajak. Cara Mendaftar NPWP Secara Online atau eRegistration.

Info Pajak Terbaru

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985 untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Mekanisme pemungutan PPn tahun 1951 dalam pelaksanaannya menimbulkan dampak kumulatif atau pajak berganda. Hal ini dapat mendorong Wajib Pajak untuk melakukan penghindaran pajak atau penyelundupan pajak sehingga tidak netral terhadap perdagangan dalam negeri maupun perdagangan internasional. Sejalan dengan perkembangan sosial ekonomi dan politik yang berlangsung secara cepat, peraturan pajak senantiasa selalu diperbaruhi secara terus menerus agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan yang ada di dalam masyarakat. Sebagaimana dalam Undang-undang PPN yang baru terdapat pengkreditan untuk menghindari adanya pengenaan pajak berganda.

PPN merupakan pajak tidak langsung, yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. PPN di Indonesia mewajibkan Pengusaha Kena Pajak (PKP) untuk memungut PPN ketika melakukan penjualan atau penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP). Adapun PPN yang harus disetor ke negara adalah selisih antara PPN yang dipungut pada saat penyerahan (Pajak Keluaran) dan PPN yang dibayar atas perolehan atau pembelian BKP atau JKP.

Objek PPN
 
Pada dasarnya semua barang dan jasa merupakan objek PPN, akan tetapi karena adanya berbagai pertimbangan seperti perekonomian, sosial dan budaya, pemerintah mengatur sendiri Undang-undang PPN bahwa ada barang dan jasa tertentu yang tidak dipungut serta dikecualikan dari pengenaan PPN bahkan dibebaskan dari pungutan PPN. Menurut jenisnya, objek PPN dikelompokkan menjadi 2 (dua) yaitu:
  1. Barang Kena Pajak merupakan barang berwujud yang menurut sifatnya dapat berupa barang yang bergerak atau tidak bergerak, dan barang tidak berwujud yang dikenakan PPN.
  2. Jasa Kena Pajak merupakan setiap kegiatan pelayanan yang berdasarkan suatu perikatan atau perbuatan hukum yang menyebabkan suatu barang atau fasilitas kemudahan atau hak tersedia untuk dipakai, termasuk jasa yang dilakukan untuk menghasilkan barang karena pesanan atau permintaan dengan bahan dan atas petunjuk dari pemesan yang dikenakan PPN.
PPN dikenakan atas pertambahan nilai yang terjadi karena kegiatan-kegiatan tertentu sebagimana yang tercantum pada Undang-undang PPN Pasal 4, Pasal 16 C, dan Pasal 16 D. Pada pembahasan objek PPN ini akan dijelaskan PPN yang dikenakan atas pertambahan nilai yang terjadi karena kegiatan Impor.

Pengertian Impor

Impor merupakan proses pembelian barang atau jasa asing dari suatu negara ke negara lain atau setiap kegiatan memasukkan barang barang dari luar Daerah Pabean ke dalam Daerah Pabean.

Impor barang secara garis besar umumnya membutuhkan campur tangan dari bea cukai di negara pengirim maupun penerima. Impor adalah bagian penting dari perdagangan internasional. Impor juga sangat dipengaruhi 2 (dua) faktor yakni, pajak dan kuota. Pemerintah mengenakan tarif (pajak) pada produk impor. Pajak itu biasanya dibayar langsung oleh importir, yang kemudian akan membebankan kepada konsumen berupa harga lebih tinggi dari produknya. Demikianlah sebuah produk mungkin berharga terlalu tinggi dibandingkan produk yang berasal dari dalam negeri. Ketika pemerintah asing menerapkan tarif, kemampuan perusahaan asing untuk bersaing di Negara-negara itu dibatasi. Pemerintah juga dapat menerapkan kuota pada produk impor, yang membatasi jumlah produk yang dapat dimpor. Jenis hambatan perdagangan seperti ini bahkan lebih membatasi dibandingkan tarif, karena secara eskpilit menetapkan batas jumlah yang dapat dimpor. Hal penting yang harus diperhatikan adalah importir harus mempunyai SIUP (Surat Ijin Usaha Perusahaan) dan API (Angka Pengenal Impor). Proses impor akan lebih mudah lagi jika bisa masuk ke dalam Sistem Pelayanan Impor (Importir Jalur Prioritas).

PPN yang Dibebaskan atas Impor

Perlu diketahui bahwa tidak semua barang yang dibeli atau dijual dikenakan PPN, dan PPN yang dibebaskan atas Impor itu sendiri tidak bisa dikreditkan. Sebagaimana yang telah diatur oleh Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 370/KMK/2003 Tentang Pelaksanaan Pajak Pertambahan Nilai yang Dibebaskan atas Impor dan/atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan/atau Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu, bahwa:
  1. Barang Kena Pajak Tertentu adalah:
    1. Senjata, amunisi, alat angkutan di air, alat angkutan di bawah air, alat angkutan di udara, alat angkutan di darat, kendaraan lapis baja, kendaraan patroli, dan kendaraan angkutan khusus lainnya, serta suku cadangnya;
    2. Komponen atau bahan yang belum dibuat di dalam negeri yang digunakan dalam pembuatan senjata dan amunisi untuk keperluan Departemen Pertahanan atau Tentara Nasional Indonesia (TNI) atau Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI);
    3. Vaksin Polio dalam rangka pelaksanaan Program Pekan Imunisasi Nasional (PIN);
    4. Buku-buku pelajaran umum, kitab suci dan buku-buku pelajaran agama;
    5. Kapal laut, kapal angkutan sungai, kapal angkutan danau dan kapal angkutan penyeberangan, kapal pandu, kapal tunda, kapal penangkap ikan, kapal tongkang, dan suku cadang serta alat keselamatan pelayaran atau keselamatan manusia.
    6. Pesawat udara dan suku cadang serta alat keselamatan penerbangan atau alat keselamatan manusia, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan;
    7. Kereta api dan suku cadang serta peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan serta prasarana;
    8. Komponen atau bahan yang digunakan untuk pembuatan kereta api, suku cadang, peralatan untuk perbaikan atau pemeliharaan, serta prasarana yang akan digunakan oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;
    9. Peralatan berikut suku cadangnya yang digunakan oleh Departemen Pertahanan atau TNI untuk penyediaan data batas dan photo udara wilayah Negara Republik Indonesia yang dilakukan untuk mendukung pertahanan Nasional; dan
    10. Rumah sederhana, rumah sangat sederhana, rumah susun sederhana, pondok boro, asrama mahasiswa dan pelajar serta perumahan lainnya, yang batasannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan setelah mendengar pertimbangan Menteri Pemukiman dan Prasarana Wilayah.
  2. Jasa Kena Pajak Tertentu adalah:
    1. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Laut Nasional, Perusahaan penangkapan ikan nasional, Perusahaan Penyelenggara Jasa Kepelabuhan Nasional, atau Perusahaan Penyelenggara Jasa Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan Nasional, yang meliputi: 
      1. Jasa persewaan kapal;
      2. Jasa kepelabuhan meliputi jasa tunda, jasa pandu, jasa tambat, dan jasa labuh; dan
      3. Jasa perawatan atau reparasi (docking) kapal.
    2. Jasa yang diterima oleh Perusahaan Angkutan Udara Niaga Nasional yang meliputi:
      1. Jasa persewaan pesawat udara;
      2. Jasa perawatan atau reparasi pesawat udara.
    3. Jasa perawatan atau reparasi kereta api yang diterima oleh PT (PERSERO) Kereta Api Indonesia;
    4. Jasa yang diserahkan oleh Kontraktor untuk pemborongan bangunan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 huruf j dan pembangunan tempat yang semata-mata untuk keperluan ibadah;
    5. Jasa persewaan rumah susun sederhana, rumah sederhana, dan rumah sangat sederhana; dan
    6. Jasa yang diterima oleh Departemen Pertahanan atau TNI yang dimanfaatkan dalam rangka penyediaan data batas photo udara wilayah Negara Republik Indonesia untuk mendukung pertahanan nasional.

Tarif PPN

Sebagaimana yang telah tercantum dalam Pasal 7 Undang undang No.42 Tahun 2009.

Sesuai dengan penjelasan diatas dapat disimpulkan bahwa PPN merupakan pajak tidak langsung yang artinya pajak yang pada akhirnya dapat dibebankan atau dialihkan kepada orang lain atau pihak ketiga. Pajak Impor merupakan objek PPN sedangkan besarnya tarif PPN pada umumnya sebesar 10% dari nilai transaksi, akan tetapi berdasarkan pertimbangan perekonomian dan/atau peningkatan kebutuhan dana untuk pembangunan, pemerintah diberikan wewenang mengubah tarif PPN paling rendah 5% dan paling tinggi 15% dengan tetap menggunakan prinsip tarif tunggal.
Pajak Penerangan Jalan adalah pajak atas penggunaan tenaga listrik, baik yang dihasilkan sendiri maupun diperoleh dari sumber lain. Sumber lain yang dimaksud adalah tenaga listrik yang diperoleh dari PLN dan/atau oleh bukan PLN. Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik, di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah. Dalam hal tenaga listrik disediakan oleh PLN maka pemungutan Pajak Penerangan Jalan dilakukan oleh PLN. Dalam hal Pajak Penerangan Jalan dipungut oleh PLN maka besarnya pokok pajak terutang dihitung berdasarkan jumlah rekening listrik yang dibayarkan oleh pelanggan PLN.

Bukan objek Pajak Penerangan Jalan
  1. Penggunaan tenaga listrik oleh instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah
  2. Penggunaan tenaga listrik pada tempat-tempat yang digunakan oleh kedutaan, konsulat, perwakilan asing, dan lembaga-lembaga internasional dengan asas timbal balik
  3. Penggunaan tenaga listrik yang berasal dari bukan PLN dengan kapasitas tertentu yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait
  4. Penggunaan tenaga listrik lainnya yang diatur dengan Peraturan Daerah (Penggunaan tenaga listrik yang dihasilkan sendiri dengan kapasitas di bawah 200 KVA (dua ratus Kilo Volt Amper) yang tidak memerlukan izin dari instansi teknis terkait)

Dasar Pengenaan Pajak (DPP) Penerangan Jalan

Dasar pengenaan Pajak Penerangan Jalan adalah Nilai Jual Tenaga Listrik. Nilai Jual Tenaga Listrik yang dimaksud adalah:
  1. Dalam hal tenaga listrik berasal dari PLN dengan pembayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik adalah jumlah tagihan biaya beban ditambah dengan biaya pemakaian kwh yang ditetapkan dalam rekening listrik
  2. Dalam hal tenaga listrik berasal dari bukan PLN dengan tidak dipungut bayaran, Nilai Jual Tenaga Listrik dihitung berdasarkan kapasitas tersedia, penggunaan listrik atau taksiran penggunaan listrik, dan harga satuan listrik yang berlaku di wilayah Daerah yang bersangkutan
  3. Khusus untuk kegiatan industri, pertambangan minyak bumi dan gas alam, Nilai Jual Tenaga Listrik ditetapkan sebesar 30% (tiga puluh persen)

Tarif Penerangan Jalan

Tarif Pajak Penerangan Jalan paling tinggi sebesar 10% (sepuluh persen). Tarif Pajak Penerangan Jalan ditetapkan dengan Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 15 Tahun 2010 Pasal 7. (sumber:www.ortax.org)
Penghitungan pajak atas penghasilan mempunyai cara perhitungan yang berbeda-beda, berikut ini akan dibahas mengenai tata cara penghitungan pajak atas pegawai tidak tetap berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, dan upah borongan. Letak perbedaan penghitungan pajak atas pegawai tidak tetap ini terletak pada jumlah waktu pegawai tersebut. Pegawai tidak tetap biasanya bekerja dengan waktu yang tidak menentu atau dapat dikatakan berubah-ubah tergantung kondisi yang terkait, seperti dilihat dari banyaknya unit yang dikerjakan atau tergantung selesainya pekerjaan dan sebagainya. Lain halnya dengan pegawai tetap yang sudah pasti diberikan gaji setiap bulan.

Pegawai tidak tetap adalah pegawai yang hanya menerima penghasilan bila bekerja, menurut jumlah hari bekerja, menurut jumlah unit hasil pekerjaan, dan menurut penyelesaian suatu pekerjaan. Penghasilan pegawai tidak tetap berupa upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan atau upah yang dibayarkan secara bulanan. Berikut merupakan pengertian dari jenis pegawai tidak tetap:
  1. Upah harian adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara harian.
  2. Upah mingguan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan secara mingguan.
  3. Upah satuan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan jumlah unit hasil pekerjaan yang dihasilkan.
  4. Upah borongan adalah upah atau imbalan yang diterima atau diperoleh pegawai yang terutang atau dibayarkan berdasarkan penyelesaian suatu jenis pekerjaan tertentu.

Teknis Perhitungan

Dalam melakukan pengitungan pajak penghasilan pegawai tidak tetap berupa upah harian, mingguan, satuan maupun borongan dapat dikenakan pajak dengan batas penghasilan lebih dari Rp200.000 dalam satu hari.

Penghasilan pegawai tidak tetap bagi upah harian, upah mingguan, upah satuan dan upah borongan yang jumlah kumulatifnya dalam 1 bulan kalender belum melebihi Rp2.025.000 maka berlaku ketentuan sebagai berikut:
  1. Tidak dikenakan pemotongan PPh Pasal 21 apabila penghasilan sehari belum melebihi Rp200.00
  2. Dikenakan pemptongan PPh Pasal 21 apabila penghasilan sehari sudah melebihi Rp200.000, serta jumlah Rp200.000 tersebut merupakan jumlah yang dapat dikurangi dari penghasilan bruto.
Sedangkan jika jumlah kumulatifnya dalam 1 bulan kalender melebihi Rp2.025.000 maka dapat dikurangkan sejumlah PTKP yang sebenarnya. PTKP yang dimaksud adalah PTKP setahun dibagi 360 hari. Sedangkan jika jumlah penghasilan kumulatif dalam 1 bulan kalender sudah melebihi Rp 7.000.000, maka PPh pasal 21 dihitung berdasarkan tarif pasal 17 ayat 1 UU KUP atas jumlah penghasilan kena pajak yang disetahunkan dikalikan 12. (sumber:www.ortax.org)
Indonesia adalah negara agraris yang kaya akan hasil pertanian, kehutanan, perkebunan, peternakan, dan perikanan. Oleh karena itu sebagian besar masyarakat Indonesia melakukan kegiatan usaha di bidang pertanian maupun yang berkaitan dengan pertanian. Hal itu terbukti dengan tercapainya swasembada pangan pada tahun 1984 melalui gerakan “Revolusi Hijau” yaitu gerakan untuk meningkatkan produksi pangan melalui usaha pengembangan teknologi pertanian.

Sadar maupun tidak sadar, pemerintah memiliki peranan penting dibalik keberhasilan swasembada pangan tersebut. Pemerintah ikut menyukseskan pertanian Indonesia dengan membuat kebijakan-kebijakan yang mendukung pertanian dengan menerbitkan peraturan. Salah satu kebijakan yang dibuat pemerintah yaitu peraturan pajak mengenai barang pertanian. Peraturan perpajakan merupakan faktor penentu yang penting bagi masa depan pertanian di Indonesia.

Barang Hasil Pertanian yang Dibebaskan PPN

Pada prinsipnya didalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 (selanjutnya disebut UU PPN) Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenal dua jenis fasilitas di bidang PPN yang memiliki perlakuan yang berbeda, yaitu :
  1. Pajak terutang tidak dipungut, dan
  2. Pembebasan dari pengenaan pajak.
Hal terpenting yang harus dipahami berkenaan dengan fasilitas PPN tersebut adalah bahwa suatu transaksi yang sebenarnya merupakan objek PPN atau telah memenuhi syarat untuk dikenakan PPN, karena sebab tertentu dibebaskan dari pengenaan PPN atau PPN nya tidak dipungut dengan Peraturan Pemerintah. Oleh karena itu, harus dibedakan dengan konsep tidak dikenakan PPN, yaitu suatu transaksi yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk dikenakan PPN, misalnya barang yang diserahkan bukan BKP.
 
Tujuan dan maksud diberikannya fasilitas ini adalah untuk mendorong berhasilnya sektor-sektor kegiatan ekonomi yang berprioritas tinggi dalam skala nasional, mendorong perkembangan dunia usaha dan meningkatkan daya saing, mendukung pertahanan nasional, serta memperlancar pembangunan nasional.        
 
Dasar hukum pembebasan PPN adalah Pasal 16B Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009. Pasal 16B ini memberikan wewenang kepada Pemerintah untuk memberikan fasilitas berupa PPN tidak dipungut atau PPN dibebaskan untuk :
  1. Kegiatan di kawasan  tertentu atau tempat tertentu di dalam Daerah Pabean;
  2. Penyerahan Barang Kena  Pajak tertentu atau penyerahan Jasa Kena Pajak tertentu;
  3. Impor Barang  Kena Pajak tertentu;
  4. Pemanfaatan  Barang Kena Pajak tidak berwujud tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam  Daerah Pabean;
  5. Pemanfaatan  Jasa Kena Pajak tertentu dari luar Daerah Pabean di dalam  Daerah Pabean.
Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 mengatur  tentang impor dan atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertambahan nilai. Berdasarkan peraturan tersebut, barang pertanian termasuk dalam barang yang bersifat strategis. Barang hasil pertanian adalah barang yang dihasilkan dari kegiatan usaha di bidang:
  • Pertanian, perkebunan, dan kehutanan;
  • Peternakan, perburuan atau penangkapan, maupun penangkaran; atau
  • Perikanan baik dari penangkapan atau budidaya,
yang dipetik langsung, diambil langsung atau disadap langsung dari sumbernya termasuk, yang diproses awal dengan tujuan untuk memperpanjang usia simpan atau mempermudah proses lebih lanjut, sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah nomor 31 Tahun 2007.

Barang Hasil Pertanian yang Dikenakan PPN

Pada tanggal 25 Februari 2014 telah diterbitkan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 70P/HUM/2013. Putusan tersebut mengabulkan permohonan uji materiil dari pemohon yaitu Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN). Isi putusan tersebut memerintahkan kepada Presiden Republik Indonesia untuk mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.
 
Dampak dari putusan tersebut yaitu pengusaha wajib melaporkan usahanya untuk dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, apabila sampai dengan suatu bulan dalam tahun buku jumlah peredaran bruto dan/atau penerimaan brutonya melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
 
Pasal 8 ayat (2) Peraturan Mahkamah Agung Nomor 01 Tahun 2011, mengatur bahwa dalam hal 90 hari setelah putusan Mahkamah Agung tersebut dikirim kepada Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Peraturan Perundang-undangan tersebut, ternyata Pejabat yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai kekuatan hukum. Berdasarkan data pada Sistem Informasi Administrasi Perkara Mahkamah Agung Republik Indonesia, Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013 telah dikirim pada tanggal tanggal 23 April 2014. Dengan demikian apabila Pemerintah sampai dengan tanggal 21 Juli 2014 belum mencabut Pasal 1 ayat (1) huruf c, Pasal 1 ayat (2) huruf a, Pasal 2 ayat (1) huruf f, dan Pasal 2 ayat (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, maka sejak tanggal 22 Juli 2014 ketentuan tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum.

Implikasi Perpajakan Putusan Mahkamah Agung Nomor 70P/HUM/2013

Berdasarkan Putusan Mahkamah Agung tersebut, maka implikasi perpajakannya adalah sebagai berikut:
  1. Barang hasil pertanian berupa buah-buahan dan sayur-sayuran sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 termasuk barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  2. Barang hasil pertanian lain yang tidak ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007, yaitu beras, gabah, jagung, sagu dan kedelai adalah barang yang tidak dikenakan PPN (Bukan Barang Kena Pajak) sesuai Pasal 4A ayat (2) huruf b Undang-Undang PPN sehingga atas penyerahan, impor, maupun ekspornya tidak dikenai PPN.
  3. Barang hasil pertanian yang merupakan hasil perkebunan, tanaman hias dan obat, tanaman pangan, dan hasil hutan sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2007 yang semula dibebaskan dari pengenaan PPN berubah menjadi dikenakan PPN sehingga atas penyerahan dan impornya dikenai PPN dengan tarif 10%, sedangkan atas ekspornya dikenai PPN dengan tarif 0% (perincian jenis barang terlampir).
  4. Pengusaha (orang pribadi maupun badan) yang melakukan penyerahan barang hasil pertanian tersebut wajib memungut PPN dan untuk itu wajib dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak, kecuali pengusaha yang termasuk pengusaha kecil dengan omzet sampai dengan Rp 4,8 milyar per tahun sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 197/PMK.03/2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 68/PMK.03/2010 tentang Batasan Pengusaha Kecil Pajak Pertambahan Nilai.
Contoh Kasus
  1. Pak Arifin adalah seorang pedagang pengumpul. Usahanya adalah berdagang buah-buahan dan sayur-sayuran yang dibeli dari petani di daerah Sulawesi,  kemudian dijual ke industri pertanian di Samarinda. Usahanya cukup berkembang, sampai pada bulan Mei tahun 2014 Pak Joko memiliki omset sebesar Rp 10 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, buah-buahan dan sayur-sayuran yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi tidak terutang PPN karena bukan BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 Pak Arifin tidak perlu menjadi PKP karena melakukan penyerahan yang tidak terutang PPN.
  2. PT. Kopi Robusta adalah perusahaan yang bergerak dalam bidang perkebunan kopi. PT. Kopi Robusta menyerahkan biji kopi kering. PT.  Kopi Robusta memiliki omset sebesar Rp 100 milyar. Berdasarkan Putusan MA Nomor 70P/HUM/2013, biji kopi kering yang dulunya dibebaskan PPN, sekarang menjadi  terutang PPN karena menjadi BKP. Jadi, sejak tanggal 22 Juli 2014 PT. Kopi Robusta wajib membuat Faktur Pajak atas penyerahan biji kopi kering dengan kode Faktur Pajak “01” bukan “08”.
Dasar hukum pengenaan PPN pada barang hasil pertanian adalah putusan MA 70P/2013 dan bukan SE - 24/PJ/2014. Putusan tersebut mengubah ketentuan PPN atas barang pertanian. Surat Edaran merupakan  untuk menyampaikan putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia kepada petugas pajak di seluruh Kantor Wilayah DJP, dan SE tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum. (sumber:www.ortax.org)
Didalam ketentuan Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-Undang Pajak Penghasilan, penghasilan yang diterima atau diperoleh dari persewaan tanah dan/atau bangunan merupakan Objek Pajak Penghasilan. Dengan demikian orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan, maka penghasilan tersebut termasuk dalam pengertian penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf i Undang-undang tersebut.
 
Dalam rangka meningkatkan kepatuhan orang pribadi atau badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, dan sesuai dengan Pasal 4 ayat (2) Undang-undang Pajak Penghasilan, maka perlu diatur cara pembayaran Pajak Penghasilan atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan dengan Peraturan Pemerintah. Pada 23 Maret 2002 pemerintah melakukan perubahan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 dengan Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002. Perubahan ini dilakukan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan perlakuan yang sama kepada penerima penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan baik badan maupun orang pribadi.

Dasar Pengenaan Pajak dan Tarif Pajak

Dasar Pengenaan Pajak Penghasilan untuk persewaan tanah dan/atau bangunan adalah jumlah bruto nilai persewaan. Jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang  berkaitan dengan tanah dan atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan service charge baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun disatukan.

Besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri atas penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan dari persewaan tanah dan/atau bangunan  adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
 
Atas penghasilan dari persewaan tanah dan/atau bangunan wajib dipotong pajak penghasilan oleh penyewa. Apabila penyewa bukan sebagai pemotong pajak maka pajak penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. Orang pribadi yang ditunjuk sebagai pemotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 394/KMK.04/1996 adalah :
  1. Akuntan, arsitek, dokter, Notaris, Pejabat Pembuat Akte Tanah (PPAT) kecuali PPAT tersebut adalah Camat, pengacara, dan konsultan, yang melakukan pekerjaan bebas;
  2. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan; yang telah terdaftar sebagai Wajib Pajak dalam negeri.
 
Saat Terutang, Penyetoran, dan Pelaporan

Pemotongan oleh penyewa dalam hal penyewa adalah Badan Pemerintah, Subjek Pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, kerjasama operasi, perwakilan perusahaan luar negeri lainnya, dan orang pribadi yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal Pajak. Dalam hal penyetoran kode MAP dan Kode jenis setorannya adalah MAP : 411128 serta KJSnya adalah 403.
 
Dalam melaksanakan pemotongan Pajak Penghasilan, pihak penyewa wajib:
  1. Memotong Pajak Penghasilan yang terutang pada saat pembayaran atau terutangnya sewa, tergantung peristiwa mana lebih dahulu terjadi;
  2. Menyetor Pajak penghasilan yang terutang ke Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro paling lambat tanggal 10 (sepuluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
  3. Melaporkan pemotongan dan penyetoran Pajak penghasilan yang terutang ke Kantor Pelayanan Pajak paling lambat tanggal 20 (dua puluh) bulan takwin berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.

Dalam hal penyewa merupakan bukan pemotong pajak atau bukan Subjek Pajak, maka kewajiban perpajakan harus dilaksanakan oleh pihak yang menyewakan dengan cara melakukan penyetoran sendiri atas PPh Pasal 4 ayat 2 tersebut.

Referensi :
  1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 Tentang Pajak Penghasilan.
  2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan    
  3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan    
  4. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 94 Tahun 2010 tentang Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Dan Pelunasan Pajak Penghasilan Dalam Tahun Berjalan
  5. Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 120/KMK.03/2002 tentang Perubahan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/Kmk.04/1996 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan
  6. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 50/PJ./1996 Tentang Penunjukan Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Tertentu Sebagai Pemotong Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan
  7. Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 227/PJ./2002 Tentang Tata Cara Pemotongan Dan Pembayaran, Serta Pelaporan Pajak Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan Atau Bangunan Direktur Jenderal Pajak,
sumber: www.ortax.org
Mendaftar NPWP dapat dilakukan secara elektronik dan secara langsung. Secara elektronik yaitu melalui online atau e-Registration. Dan secara langsung bisa ke KPP terdekat di kota Anda. Berikut penjelasan mengenai tempat tempat untuk mendaftar NPWP baik online maupun offline (langsung).

TATACARA PENDAFTARAN :
  • Secara Elektronik melalui eRegistration
    • Dilakukan secara elektronik dengan mengisi Formulir Pendaftaran Wajib Pajak pada Aplikasi e-Registration yang tersedia pada laman Direktorat Jenderal Pajak di www.pajak.go.id.
    • Permohonan pendaftaran yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak melalui Aplikasi e-Registration dianggap telah ditandatangani secara elektronik atau digital dan mempunyai kekuatan hukum.
    • Untuk panduan penggunaan Aplikasi e-Registration dapat dilihat pada halaman situs Aplikasi e-Registration pada tautan berikut: Help e-Registration.
    • Wajib Pajak yang telah menyampaikan Formulir Pendaftaran Wajib Pajak melalui Aplikasi e-Registration harus mengirimkan dokumen yang disyaratkan di atas, ke KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
    • Pengiriman dokumen yang disyaratkan dapat dilakukan dengan cara mengunggah (upload) salinan digital (softcopy) dokumen melalui Aplikasi e-Registration atau mengirimkan dengan menggunakan Surat Pengiriman Dokumen yang telah ditandatangani.
    • Dokumen-dokumen tersebut paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sudah diterima oleh KPP.
    • Apabila dokumen yang disyaratkan belum diterima KPP dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja setelah penyampaian permohonan pendaftaran secara elektronik, maka permohonan tersebut dianggap tidak diajukan. Jadi, pastikan dokumen yang disyaratkan telah diterima KPP sebelum jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja.
    • Apabila dokumen yang disyaratkan ini telah diterima secara lengkap, KPP menerbitkan Bukti Penerimaan Surat secara elektronik.
    • Terhadap permohonan pendaftaran NPWP yang telah diberikan Bukti Penerimaan Surat, KPP atau KP2KP akan menerbitkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Bukti Penerimaan Surat diterbitkan.
    • Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar disampaikan kepada Wajib Pajak melalui pos tercatat.
    • Jadi, pastikan alamat yang Anda cantumkan pada Formulir Pendaftaran Wajib Pajak adalah benar dan lengkap.

  • Secara Langsung
    • Dalam hal Wajib Pajak tidak dapat mengajukan permohonan pendaftaran secara elektronik, permohonan pendaftaran dilakukan dengan menyampaikan permohonan secara tertulis dengan mengisi dan menandatangani Formulir Pendaftaran Wajib Pajak.
    • Permohonan tersebut harus dilengkapi dengan dokumen yang disyaratkan.
    • Pendaftaran NPWP atau Permohonan secara tertulis disampaikan ke KPP atau KP2KP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak.
    • Penyampaian permohonan secara tertulis dapat dilakukan:
      1. secara langsung;
      2. melalui pos; atau
      3. melalui perusahaan jasa ekspedisi atau jasa kurir.
    • Setelah seluruh persyaratan Permohonan Pendaftaran diterima KPP atau KP2KP secara lengkap, KPP atau KP2KP akan menerbitkan Bukti Penerimaan Surat.
    • KPP atau KP2KP menerbitkan Kartu NPWP dan Surat Keterangan Terdaftar (SKT) paling lambat 1 (satu) hari kerja setelah Bukti Penerimaan Surat diterbitkan.
    • NPWP dan SKT akan dikirimkan melalui Pos Tercatat.
Yang Wajib Mendaftarkan Diri Membuat NPWP adalah Wajib Pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan objektif sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan, wajib mendaftarkan diri pada KPP yang wilayah kerjanya meliputi tempat tinggal atau tempat kedudukan, dan tempat kegiatan usaha Wajib Pajak, meliputi:

  1. Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
    • hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
    • menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
    • memilih melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang tidak menjalankan usaha atau pekerjaan bebas dan memperoleh penghasilan di atas Penghasilan Tidak Kena Pajak;
  2. Wajib Pajak orang pribadi, termasuk wanita kawin yang dikenai pajak secara terpisah karena:
    • hidup terpisah berdasarkan keputusan hakim;
    • menghendaki secara tertulis berdasarkan perjanjian pemisahan penghasilan dan harta; atau
    • memilih melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan terpisah dari suaminya meskipun tidak terdapat keputusan hakim atau tidak terdapat perjanjian pemisahan penghasilan dan harta, yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
  3. Wajib Pajak badan yang memiliki kewajiban perpajakan sebagai pembayar pajak, pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk usaha tetap dan kontraktor dan/atau operator di bidang usaha hulu minyak dan gas bumi;
  4. Wajib Pajak badan yang hanya memiliki kewajiban perpajakan sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, termasuk bentuk kerja sama operasi (Joint Operation); dan
  5. Bendahara yang ditunjuk sebagai pemotong dan/atau pemungut pajak sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Jika Anda sudah memenuhi kriteria diatas, langsung saja untuk mengajaukan pembuatan NPWP. Syarat dan cara daftar NPWP sudah saya pernah bahas sebelumnya di blog ini.